BINGKAI YANG RETAK
“Ara... Ara... dengarkan aku. Ara,,, !
teriak Arya, suami Tiara yang secara
refleks melepas pelukan Adinda lalu mengejar istrinya. Ara... tangan Arya
berhasil meraih pundak Ara. Ara pun membalikkan tubuhnya. Matanya menatap Arya
dengan penuh kebencian, raut mukanya memancarkan kehancuran hati. “Bukan sekali
ini, kamu berkhianat... ,” ujar Ara dengan bibirnya bergetar, menahan murkah.
Bayi dalam gendongan Ara mulai menangis, seakan ikut merasakan kepedihan
ibunya. Dikibaskannya tangan Arya dengan kasar, lalu melangkahkan kakinya yang
semakin gontai. Arya berusaha mengikutinya.
Malam itu, berkali-kali Arya mengetuk
pintu kamar Tiara, namun tak juga dibuka. Semakin malam, kamar Tiara semakin
senyap. Hanya suara AC dan lampu kamar yang menyala petanda masih berpenghuni.
“Tiara ketiduran kali Ya? Teriak ibu mertuanya dari seberang kamar. “Coba kamu
telpon deh!” lanjutnya. Arya tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala dan
dengan cekatan Arya mengambil HP nya lalu menekan-nekan angka yang ada di hp
itu.
“Kok kamu belum mandi Ya? Tanya ibu
mertua ketika mendapati Arya duduk di teras kamar hotel dalam keadaan lesu? Udah
jam 8 ini! Ayo cepat mandi, sarapan terus cek out!” lanjutnya dengan nada
kesal. Ara sudah bangunkan? Arya hanya diam menunduk lesu. “Ara... Ara... ayo
sarapan! teriak ibu dibalik pintu kamar Tiara.
“Ya Bu,” sahut Tiara singkat.
“Ibu tunggu di restorasi ya,” lanjut ibu
sambil berjalan bersama Dinda dan Damar adik bungsu Tiara. Mata Dinda sempat
melirik kearah Arya, seakan bertanya pada Arya. Tapi Arya melempar pandang ke
arah taman di depan kamar, menyembunyikan rasa yang ada di hati.
Tiara... gumam Arya pelan, saat pintu
kamar terbuka. Tiara berkemeja hitam lengan panjang dan celana jeans. Di bahu
kanannya tersampir simpul ikatan selendang gendong dan tas perlengkapan
kebutuhan anaknya. Ditutupinya mata sembabnya dengan kaca mata hitam. Kedua tangan
Arya meraih pundak Tiara, namun sekali lagi dengan keras ditepisnya. “Ara...”,
panggil Arya lirih. “Aku bisa menjelaskan semuanya, “ rengek Arya mengiba. Tanpa
menjawab, Ara berjalan menjauh tak menggubris Arya yang terpaku menatapnya dari
belakang.
“Bapak Ibu apa kabar?” Semalam nyenyak
tidurnya? Habis sarapan kita cek out, selanjutnya kita meneruskan perjalanan
kita. Sesuai rencana kita akan menuju Air Terjun Git-Git, lalu kita akan
melanjutkan perjalanan kita ke Lovina... ,“ jelas Sisca pemandu wisata kami.
Selesai arahan Sisca, Tiara mendakati Damar. “Damar tolong tas Mbak bereskan
ya! Jangan ada yang tertinggal!’ perintahnya singkat. Damar hanya menganggukkan
kepala. Ibu dan Dinda yang masih menikmati nasi gorengnya melihat perubahan
diraut wajah Arah. Namun belum sempat ibu bertanya, Tiara berlalu dari
restorasi. Sementara Arya berjalan mengikuti Tiara dari belakang.
Sepanjang perjalanan terasa menyiksa
Arya. Arya duduk disebelah istrinya, tapi serasa orang asing. Tak sepatah kata
terucap dari bibir indahnya. Tiara terdiam membisu, matanya kosong, tergurat
raut kesedihan. Hatinya serasa teriris-iris, merasa sangat bersalah, tapi tak
ada keberanian untuk meminta maaf. Sesekali Ara memperhatikan anak dalam
gendongannya, memenuhi kebutuhan bayinya saat sang bayi mulai rewel. Tak
satupun pertanyaan Arya dijawabnya. Begitu pun tawaran bantuan Arya untuk
menggendong anaknya pun, diacuhkan, membuat Arya makin gelisah. Begitu juga
dengan ibu yang duduk disebalah Tiara.
“Damar kita ke air terjun yuk! ajak
Dinda dengan suara manjanya. Sekalian ajak Mas Arya, pintanya. Damar hanya diam
memandang wajah kakaknya. Tiba-tiba tangan Dinda langsung menarik tangan Arya
yang mematung disebelah istrinya. “Ayo... Mas, temani kami ke air terjun.
Ayo...,” rengek manja Dinda sambil menarik tangan Arya. “Dinda! Gak sopan
sekali kamu!” teriak ibu. Tanpa menggubris ibu, Dinda tetap menggelendeng Arya
menuju air terjun. Arya tak sanggup
menolak, meski sesekali menoleh ke ara Tiara.
Tiara duduk di bebatuan besar pembatas
sungai. Matanya menunduk lesu, memandangi wajah polos Lucky. Mata kecoklatan
dan hidung mancung Lucky sangat mirip Arya. Sedangkan bentuk mata yang bulat
dan bibirnya mirip sekali dengan Tiara. Tiara mendekap erat Lucky, matanya
berkaca-kaca memendam derita. Ingatannya kembali ke masa Tiara pulang dari
rumah sakit seusai melahirkan Lucky. Pagi itu tidak seperti biasanya, dr Irwan pukul 5 pagi sudah datang ke kamar
Ara. Setelah memeriksa Ara dan Lucky, dr menyatakan mereka boleh pulang karena
sudah sehat. Bergegas Tiara membereskan semua barang-barangnya. Tiara ingin cepat
sampai rumah dan membuat kejutan pada suaminya,
yang hari ini tidak bisa menjenguknya di rumah sakit karena sedang demam. Ibu
yang saat itu baru nyamai kamar Ara, kaget mendapati Ara yang sudah membereskan
barang-barangnya, setelah mengurus administrasi rumah sakit, ibu memanggil taxi
untuk mengantar mereka pulang.
Pintu pagar tertutup, namun tidak
terkunci. Begitu juga dengan pintu rumah yag terbuka lebar, Ara berjalan
setengah jinjit, langsung menuju ke kamar sambil membawa tas barang-barangnya,
sedangkan ibu mengikutinya di belakang sambil menggendong Lucky. Dibukanya
pintu kamar dengan perlahan karena tidak ingin mengganggu suaminya yang sedang
istirahat. Mata Ara langsung terbelalak, badannya bergetar lemas, tubuhnya
terhuyung ke pintu, mulutnya tercekat saat melihat pemandangan di depan
matanya. Arya yang sedang bergumul dengan Adinda sepontan kaget melihat pintu
kamarnya terbuka dan mendapati istrinya bersandar lemas dipintu kamar yang
sudah terbuka itu. Secepat kilat Arya dan Adinda mencari penutup tubuh
telanjang mereka. “Astaughfirllahuladzim...,” jerit ibu dari sisi Ara. Ibu
terduduk lemas, shok.
“Ara...,” panggil ibu membuyarkan
lamunan Ara. “Ara tolong ceritakan pada ibu, apa yang sebenarnya yang terjadi?
Benarkah yang dikatakan Damar, adikmu? Ibu ingin mendengar langsung dari kamu,
Ara,” kata ibu sambil mengambil Lucky yang sedang tidur dalam gendongan Ara.
Ibu duduk di sebelah Ara. “Ya Bu, peristiwa itu terulang lagi. Mereka tidak
jerah. Tidak menganggap pengorbanan Ara. Selama ini Ara diam, Ara menerima,
memaafkan perselingkuhan mereka karena Ara ingin menutup aib adik dan suami
Ara. Ara ingin menyelamatkan nama baik keluarga kita. Tapi ternyata mereka
tidak berubah, mereka tetap menjalin kasih, tanpa memikirkan sedikitpun
perasaan saya,” ujar Ara sambil menetaskan air matanya. Ibu memeluk Anak
sulungnya, mafkan ibu Ara, maaf... ibu gagal mendidik adikmu. Tangis ibu sedih.
Sepulang dari liburan itu, sikap Ara,
ibu, dan Damar berubah. Mereka lebih banyak diam, terutama saat menghadapi Arya
dan Adinda. Suasana menjadi kaku. Apalagi Ara, tiap pagi buta menbawa anaknya
ke luar rumah dan akan kembali ke rumah setelah suami berangkat ke kantor. Begitu
juga menjelang suaminya pulang kerja, Ara dan Lucky pasti ke luar rumah, entah
ke mana. Mereka baru pulang setelah malam hari, menjelang tidur.
“Mas.... sini ...sarapan bareng!” sapa
Adinda ketika Arya menghampiri meja makan. Dinda yang sudah rapi dan asyik
makan nasi gorengnya melempar senyum pada Arya. Memang setelah Arya menikahi
Tiara, mereka tinggal di rumah Ibu Tiara, bersama dengan kedua adik Tiara
sambil menabung untuk membeli rumah sendiri. Mendengar suara Adinda, mata ibu
langsung melotot ke arah Adinda. “Jadilah perempuan sholeha. Perempuan sholeha
itu menghargai kehormatannya sebagai wanita. Tidak merayu suami orang! Bentak ibu
dengan geram, yang langsung menundukkan wajah Adinda.
Bergegas Arya mengambil kunci mobilnya,
lalu pamit berangkat kerja pada ibu mertuanya. Ibu hanya menjawab dengan mata
sinis. “Mas... tunggu... nanti kita
mampir di soto langganan ya, aku masih lapar nih,” Ujar Dinda manja sambil
berjalan menuju mobil Arya. “Din... maaf, kamu naik taxi saja. Maaf... ,“
teriak Arya sambil menutup kembali pintu mobil. Belum sempat Dinda membantah,
Arya sudah pergi meninggalkan Dinda yang terpaku melihat perubahan sikap Arya.
“Mulai sekarang, kamu ke kampus bawa motor saja, gak perlu cari tumpangan, dan
jangan menggoda suami orang! Orang tuamu gak pernah mengajari kamu jadi
pelakor!” tegas ibu dengan sinis.
Sudah sepekan sepulang dari wisata,
Tiara dan Arya tak bertegur sapa. Tiara tak lagi memasak atau menghidangkan
makanan untuk suaminya. Berkali-kali Arya mencoba mendekati Tiara, mengajak
berbicara, membelikan makanan atau kue-kue kesukaan Tiara tetapi selalu dibalas
dengan tatap mata sinis dan nada bicara yang ketus. Agaknya kali ini Tiara benar-benar
marah. Sikap Tiara membuat Arya semakin salah tingkah. Arya merasa bersalah,
tapi tidak berani meminta maaf.
Malam
itu Tiara masuk kamar, didapatinya Arya rebahan, TV masih menyala. Arya
langsung bangkit dari tidurnya, memperhatikan setiap gerak-gerik Tiara. Arya
sangat berharap, malam ini ada perubahan sikap Ara, Ara memafkan kesalahannya,
seperti 1tahun lalu. Lucky yang sudah tertidur pulas dibaringkannya di tempat
tidur. Tiara duduk di tepi ranjang, membuka tas nya, lalu mengambil secarik
kertas dan menyodorkan pada Arya. “Apa ini?’ ragu-ragu Arya menerima kertas
itu, tangannya gemetaran, wajahnya pucat pasi. Tiara... apa ini? Gumamnya lirih
setengah memohon. “Baca!” tegas Tiara.
Mata Arya menatap rangkaian huruf yang
ada di kertas itu. “Tidak, Ara! Tidak! Suara Arya gemetar, hampir tidak
terdengar. Kamu istriku. Tempat seorang istri adalah di samping suaminya!” ucap
Arya menahan tangis. Aku mengaku salah. Aku minta maaf Ara. Aku khilaf,” Aku
gak mau kehilangan kamu. Aku gak mau kehilangan Lucky,” Isak Arya sambil
berlutut dibawa kaki Tiara. Aku janji, aku gak akan mengulangi lagi.
“Maaf Mas, selama ini kamu tahu,
bagaimana perlakuan ku pada kamu. Aku selalu menomor akhirkan diriku. Kamu dan
Lucky yang ku nomor satukan. Kebutuhan kalian selalu aku nomor satukan. Perasaan
kalian selalu aku jaga. Kehormatanmu selalu aku jaga, meski untuk itu aku harus
merelakan hatiku tersakiti, aku iklas, Tapi balasan apa yang kuterima dari
kamu? Penghianatan. Kamu tega menghianati aku. Kamu tahu siapa Dinda, dia adik
kandungku. Dia adik kandungku, tegas Ara dengan suara bergetar menahan amarah.
“Setelah perzinaan kalian ith lalu, aku berusa
memaafkan kalian, menutup aib kalian, menyelamatkan kehormatan kalian. Aku
tahu, kamu sering memberi uang, membelikan barang-barang untuk Dinda. Aku tahu
itu. Tapi aku berusaha menutup mata, aku diam, aku menerima sampai aku tahu
kebenaran yang sesungguhnya.
Peristiwa di pantai Kute itu adalah
kebenaran yang sesungguhnya. Allah membukakan mataku. Sekarang aku bersikap,
kamu masih mengenal akukan? Dalam urusan dengan cinta, aku tidak mau berebut
laki-laki. Pantangan untuk aku. Dengan perempuan lain saja, aku tak ingin
berebut apalagi dengan adikku. Maka sekarang aku beri kesempatan kamu, kamu
sudah memilih adikku, maka aku akan mengeluarkan kamu dari hatiku. Besok pagi,
aku akan membawa Lucky anakku, aku yakin Allah akan menolong aku. Aku pasti
bisa membesarkan Lucky. Dan kamu... silahkan kamu berbuat sesukamu.
Tidak Ara... Tidak. Aku mohon, jangan
tinggalkan aku! Aku mohon... maafkan aku Ara, aku janji akan menjadi suami yang
setia, akan menjadi bapak yang baik untuk anak kita, Ara beri aku kesempatan
sekali lagi, aku mohon Ara. Aku mohon, teriak Lucky sambil menangis dan
bersimpuh dikaki istrinya.
Maaf Mas... aku tidak biasa. Kalau
memang kamu mampu mewujudkan apa yang kamu janjikan padaku dan jika memang kamu
adalah jodohku, maka Tuhan akan mempertemukan kita kembali, sementara biar aku
menghapus sakit hatiku, mengobati luka hatiku sendiri. Biarkan waktu yang akan
membuktikan janjimu. Maaf... malam ini aku akan tidur di kamar ini, besok pagi
aku dan Lucky pamit. Keputusanku tidak dapat dibatalkan, maaf. Selamat
tinggal...
(Vie,
5 Juni 2020)
Wuuuuuuuih bu, kok bisa ya banyak bangeeet tulisannya, mau dong belajar dr guru hebaaaat niiih.
BalasHapussalam kenal, ceritanya mudah dipahami.
BalasHapusSalam kenal kembali, Bu Dhewis🙏🙏🙏
Hapus