KEKASIH TERHEBAT

https://www.youtube.com/watch?v=CuCzxDukoU4

Kamis, 04 Juni 2020

BINGKAI YANG RETAK, SEBUAH CERPEN


BINGKAI YANG RETAK


 “Din... Dinda...! Jerit Ara terpekik, mendapatkan suami dan adiknya berciuman mesra. Deburan ombak Kute sore itu seakan memukul jantung dan relung hatinya terdalam.  Ja... jadi... jadi... beginikah kelakuan kalian selama ini di belakangku? Kalian tikam aku dari belakang. Kalian sia-siakan kepercayaanku”. Beribu kalimat berjubel dalam dada Tiara tanpa satu pun mampu tersuarakan. Mata Tiara terbelalak lebar, mulutnya ternganga, badannya kaku seperti patung saat melihat suami yang dicinta dan diagungkan kesetiaannya berciuman mesra dengan adik kandung yang sangat disayanginya. Tanpa dapat dibendung lagi air mata mengalir deras membasahi pipi Ara hingga menetes pada dahi bayi satu tahun dalam gendongannya. Secepat kilat tubuh Ara membalikkan badannya dan berlari kecil meninggalkan dua orang yang sedang kasmaran.
“Ara... Ara... dengarkan aku. Ara,,, ! teriak  Arya, suami Tiara yang secara refleks melepas pelukan Adinda lalu mengejar istrinya. Ara... tangan Arya berhasil meraih pundak Ara. Ara pun membalikkan tubuhnya. Matanya menatap Arya dengan penuh kebencian, raut mukanya memancarkan kehancuran hati. “Bukan sekali ini, kamu berkhianat... ,” ujar Ara dengan bibirnya bergetar, menahan murkah. Bayi dalam gendongan Ara mulai menangis, seakan ikut merasakan kepedihan ibunya. Dikibaskannya tangan Arya dengan kasar, lalu melangkahkan kakinya yang semakin gontai. Arya berusaha mengikutinya.  
Malam itu, berkali-kali Arya mengetuk pintu kamar Tiara, namun tak juga dibuka. Semakin malam, kamar Tiara semakin senyap. Hanya suara AC dan lampu kamar yang menyala petanda masih berpenghuni. “Tiara ketiduran kali Ya? Teriak ibu mertuanya dari seberang kamar. “Coba kamu telpon deh!” lanjutnya. Arya tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala dan dengan cekatan Arya mengambil HP nya lalu menekan-nekan angka yang ada di hp itu.
“Kok kamu belum mandi Ya? Tanya ibu mertua ketika mendapati Arya duduk di teras kamar hotel dalam keadaan lesu? Udah jam 8 ini! Ayo cepat mandi, sarapan terus cek out!” lanjutnya dengan nada kesal. Ara sudah bangunkan? Arya hanya diam menunduk lesu. “Ara... Ara... ayo sarapan! teriak ibu dibalik pintu kamar Tiara.
“Ya Bu,” sahut Tiara singkat.
“Ibu tunggu di restorasi ya,” lanjut ibu sambil berjalan bersama Dinda dan Damar adik bungsu Tiara. Mata Dinda sempat melirik kearah Arya, seakan bertanya pada Arya. Tapi Arya melempar pandang ke arah taman di depan kamar, menyembunyikan rasa yang ada di hati.
Tiara... gumam Arya pelan, saat pintu kamar terbuka. Tiara berkemeja hitam lengan panjang dan celana jeans. Di bahu kanannya tersampir simpul ikatan selendang gendong dan tas perlengkapan kebutuhan anaknya. Ditutupinya mata sembabnya dengan kaca mata hitam. Kedua tangan Arya meraih pundak Tiara, namun sekali lagi dengan keras ditepisnya. “Ara...”, panggil Arya lirih. “Aku bisa menjelaskan semuanya, “ rengek Arya mengiba. Tanpa menjawab, Ara berjalan menjauh tak menggubris Arya yang terpaku menatapnya dari belakang.
“Bapak Ibu apa kabar?” Semalam nyenyak tidurnya? Habis sarapan kita cek out, selanjutnya kita meneruskan perjalanan kita. Sesuai rencana kita akan menuju Air Terjun Git-Git, lalu kita akan melanjutkan perjalanan kita ke Lovina... ,“ jelas Sisca pemandu wisata kami. Selesai arahan Sisca, Tiara mendakati Damar. “Damar tolong tas Mbak bereskan ya! Jangan ada yang tertinggal!’ perintahnya singkat. Damar hanya menganggukkan kepala. Ibu dan Dinda yang masih menikmati nasi gorengnya melihat perubahan diraut wajah Arah. Namun belum sempat ibu bertanya, Tiara berlalu dari restorasi. Sementara Arya berjalan mengikuti Tiara dari belakang.
Sepanjang perjalanan terasa menyiksa Arya. Arya duduk disebelah istrinya, tapi serasa orang asing. Tak sepatah kata terucap dari bibir indahnya. Tiara terdiam membisu, matanya kosong, tergurat raut kesedihan. Hatinya serasa teriris-iris, merasa sangat bersalah, tapi tak ada keberanian untuk meminta maaf. Sesekali Ara memperhatikan anak dalam gendongannya, memenuhi kebutuhan bayinya saat sang bayi mulai rewel. Tak satupun pertanyaan Arya dijawabnya. Begitu pun tawaran bantuan Arya untuk menggendong anaknya pun, diacuhkan, membuat Arya makin gelisah. Begitu juga dengan ibu yang duduk disebalah Tiara.
“Damar kita ke air terjun yuk! ajak Dinda dengan suara manjanya. Sekalian ajak Mas Arya, pintanya. Damar hanya diam memandang wajah kakaknya. Tiba-tiba tangan Dinda langsung menarik tangan Arya yang mematung disebelah istrinya. “Ayo... Mas, temani kami ke air terjun. Ayo...,” rengek manja Dinda sambil menarik tangan Arya. “Dinda! Gak sopan sekali kamu!” teriak ibu. Tanpa menggubris ibu, Dinda tetap menggelendeng Arya menuju air terjun.  Arya tak sanggup menolak, meski sesekali menoleh ke ara Tiara.
Tiara duduk di bebatuan besar pembatas sungai. Matanya menunduk lesu, memandangi wajah polos Lucky. Mata kecoklatan dan hidung mancung Lucky sangat mirip Arya. Sedangkan bentuk mata yang bulat dan bibirnya mirip sekali dengan Tiara. Tiara mendekap erat Lucky, matanya berkaca-kaca memendam derita. Ingatannya kembali ke masa Tiara pulang dari rumah sakit seusai melahirkan Lucky. Pagi itu tidak seperti biasanya,  dr Irwan pukul 5 pagi sudah datang ke kamar Ara. Setelah memeriksa Ara dan Lucky, dr menyatakan mereka boleh pulang karena sudah sehat. Bergegas Tiara membereskan semua barang-barangnya. Tiara ingin cepat sampai rumah dan  membuat kejutan pada suaminya, yang hari ini tidak bisa menjenguknya di rumah sakit karena sedang demam. Ibu yang saat itu baru nyamai kamar Ara, kaget mendapati Ara yang sudah membereskan barang-barangnya, setelah mengurus administrasi rumah sakit, ibu memanggil taxi untuk mengantar mereka pulang.
Pintu pagar tertutup, namun tidak terkunci. Begitu juga dengan pintu rumah yag terbuka lebar, Ara berjalan setengah jinjit, langsung menuju ke kamar sambil membawa tas barang-barangnya, sedangkan ibu mengikutinya di belakang sambil menggendong Lucky. Dibukanya pintu kamar dengan perlahan karena tidak ingin mengganggu suaminya yang sedang istirahat. Mata Ara langsung terbelalak, badannya bergetar lemas, tubuhnya terhuyung ke pintu, mulutnya tercekat saat melihat pemandangan di depan matanya. Arya yang sedang bergumul dengan Adinda sepontan kaget melihat pintu kamarnya terbuka dan mendapati istrinya bersandar lemas dipintu kamar yang sudah terbuka itu. Secepat kilat Arya dan Adinda mencari penutup tubuh telanjang mereka. “Astaughfirllahuladzim...,” jerit ibu dari sisi Ara. Ibu terduduk lemas, shok.   
“Ara...,” panggil ibu membuyarkan lamunan Ara. “Ara tolong ceritakan pada ibu, apa yang sebenarnya yang terjadi? Benarkah yang dikatakan Damar, adikmu? Ibu ingin mendengar langsung dari kamu, Ara,” kata ibu sambil mengambil Lucky yang sedang tidur dalam gendongan Ara. Ibu duduk di sebelah Ara. “Ya Bu, peristiwa itu terulang lagi. Mereka tidak jerah. Tidak menganggap pengorbanan Ara. Selama ini Ara diam, Ara menerima, memaafkan perselingkuhan mereka karena Ara ingin menutup aib adik dan suami Ara. Ara ingin menyelamatkan nama baik keluarga kita. Tapi ternyata mereka tidak berubah, mereka tetap menjalin kasih, tanpa memikirkan sedikitpun perasaan saya,” ujar Ara sambil menetaskan air matanya. Ibu memeluk Anak sulungnya, mafkan ibu Ara, maaf... ibu gagal mendidik adikmu. Tangis ibu sedih.
Sepulang dari liburan itu, sikap Ara, ibu, dan Damar berubah. Mereka lebih banyak diam, terutama saat menghadapi Arya dan Adinda. Suasana menjadi kaku. Apalagi Ara, tiap pagi buta menbawa anaknya ke luar rumah dan akan kembali ke rumah setelah suami berangkat ke kantor. Begitu juga menjelang suaminya pulang kerja, Ara dan Lucky pasti ke luar rumah, entah ke mana. Mereka baru pulang setelah malam hari, menjelang tidur.
“Mas.... sini ...sarapan bareng!” sapa Adinda ketika Arya menghampiri meja makan. Dinda yang sudah rapi dan asyik makan nasi gorengnya melempar senyum pada Arya. Memang setelah Arya menikahi Tiara, mereka tinggal di rumah Ibu Tiara, bersama dengan kedua adik Tiara sambil menabung untuk membeli rumah sendiri. Mendengar suara Adinda, mata ibu langsung melotot ke arah Adinda. “Jadilah perempuan sholeha. Perempuan sholeha itu menghargai kehormatannya sebagai wanita. Tidak merayu suami orang! Bentak ibu dengan geram, yang langsung menundukkan wajah Adinda.  
Bergegas Arya mengambil kunci mobilnya, lalu pamit berangkat kerja pada ibu mertuanya. Ibu hanya menjawab dengan mata sinis. “Mas... tunggu...  nanti kita mampir di soto langganan ya, aku masih lapar nih,” Ujar Dinda manja sambil berjalan menuju mobil Arya. “Din... maaf, kamu naik taxi saja. Maaf... ,“ teriak Arya sambil menutup kembali pintu mobil. Belum sempat Dinda membantah, Arya sudah pergi meninggalkan Dinda yang terpaku melihat perubahan sikap Arya. “Mulai sekarang, kamu ke kampus bawa motor saja, gak perlu cari tumpangan, dan jangan menggoda suami orang! Orang tuamu gak pernah mengajari kamu jadi pelakor!” tegas ibu dengan sinis.
Sudah sepekan sepulang dari wisata, Tiara dan Arya tak bertegur sapa. Tiara tak lagi memasak atau menghidangkan makanan untuk suaminya. Berkali-kali Arya mencoba mendekati Tiara, mengajak berbicara, membelikan makanan atau kue-kue kesukaan Tiara tetapi selalu dibalas dengan tatap mata sinis dan nada bicara yang ketus. Agaknya kali ini Tiara benar-benar marah. Sikap Tiara membuat Arya semakin salah tingkah. Arya merasa bersalah, tapi tidak berani meminta maaf.   
 Malam itu Tiara masuk kamar, didapatinya Arya rebahan, TV masih menyala. Arya langsung bangkit dari tidurnya, memperhatikan setiap gerak-gerik Tiara. Arya sangat berharap, malam ini ada perubahan sikap Ara, Ara memafkan kesalahannya, seperti 1tahun lalu. Lucky yang sudah tertidur pulas dibaringkannya di tempat tidur. Tiara duduk di tepi ranjang, membuka tas nya, lalu mengambil secarik kertas dan menyodorkan pada Arya. “Apa ini?’ ragu-ragu Arya menerima kertas itu, tangannya gemetaran, wajahnya pucat pasi. Tiara... apa ini? Gumamnya lirih setengah memohon. “Baca!” tegas Tiara.
Mata Arya menatap rangkaian huruf yang ada di kertas itu. “Tidak, Ara! Tidak! Suara Arya gemetar, hampir tidak terdengar. Kamu istriku. Tempat seorang istri adalah di samping suaminya!” ucap Arya menahan tangis. Aku mengaku salah. Aku minta maaf Ara. Aku khilaf,” Aku gak mau kehilangan kamu. Aku gak mau kehilangan Lucky,” Isak Arya sambil berlutut dibawa kaki Tiara. Aku janji, aku gak akan mengulangi lagi.
“Maaf Mas, selama ini kamu tahu, bagaimana perlakuan ku pada kamu. Aku selalu menomor akhirkan diriku. Kamu dan Lucky yang ku nomor satukan. Kebutuhan kalian selalu aku nomor satukan. Perasaan kalian selalu aku jaga. Kehormatanmu selalu aku jaga, meski untuk itu aku harus merelakan hatiku tersakiti, aku iklas, Tapi balasan apa yang kuterima dari kamu? Penghianatan. Kamu tega menghianati aku. Kamu tahu siapa Dinda, dia adik kandungku. Dia adik kandungku, tegas Ara dengan suara bergetar menahan amarah.
“Setelah perzinaan kalian ith lalu, aku berusa memaafkan kalian, menutup aib kalian, menyelamatkan kehormatan kalian. Aku tahu, kamu sering memberi uang, membelikan barang-barang untuk Dinda. Aku tahu itu. Tapi aku berusaha menutup mata, aku diam, aku menerima sampai aku tahu kebenaran yang sesungguhnya.
Peristiwa di pantai Kute itu adalah kebenaran yang sesungguhnya. Allah membukakan mataku. Sekarang aku bersikap, kamu masih mengenal akukan? Dalam urusan dengan cinta, aku tidak mau berebut laki-laki. Pantangan untuk aku. Dengan perempuan lain saja, aku tak ingin berebut apalagi dengan adikku. Maka sekarang aku beri kesempatan kamu, kamu sudah memilih adikku, maka aku akan mengeluarkan kamu dari hatiku. Besok pagi, aku akan membawa Lucky anakku, aku yakin Allah akan menolong aku. Aku pasti bisa membesarkan Lucky. Dan kamu... silahkan kamu berbuat sesukamu.
Tidak Ara... Tidak. Aku mohon, jangan tinggalkan aku! Aku mohon... maafkan aku Ara, aku janji akan menjadi suami yang setia, akan menjadi bapak yang baik untuk anak kita, Ara beri aku kesempatan sekali lagi, aku mohon Ara. Aku mohon, teriak Lucky sambil menangis dan bersimpuh dikaki istrinya.
Maaf Mas... aku tidak biasa. Kalau memang kamu mampu mewujudkan apa yang kamu janjikan padaku dan jika memang kamu adalah jodohku, maka Tuhan akan mempertemukan kita kembali, sementara biar aku menghapus sakit hatiku, mengobati luka hatiku sendiri. Biarkan waktu yang akan membuktikan janjimu. Maaf... malam ini aku akan tidur di kamar ini, besok pagi aku dan Lucky pamit. Keputusanku tidak dapat dibatalkan, maaf. Selamat tinggal...    
                               
                                                                                                                        (Vie, 5 Juni 2020)




3 komentar:

  1. Wuuuuuuuih bu, kok bisa ya banyak bangeeet tulisannya, mau dong belajar dr guru hebaaaat niiih.

    BalasHapus
  2. salam kenal, ceritanya mudah dipahami.

    BalasHapus