BELAJAR
DARI PENGELAMAN KEHIDUPAN
Sebuah Catatan Harian
“Kalau di Bandung,
ada cave yang menjual surabi, yang dinamai “surabi imud”. namanya sangat terkenal
lho,” ujar Bu Ratna. “Surabi yang disajikan hangat-hangat, di atasnya diberikan
aneka toping pilihan pembeli, wah... sangat disayangkan untuk dilewatkan,” ujar
Bu Ratna memnjelaskan. “Lho Bu Ratna kok tahu surabi imud?” tanya Bu Bu Lilis. “Kebetulan
anak saya tinggal di Bandung Bu Lilis, jadi saya yang asli Surabaya sering
mengunjungi cucu saya di Bandung”. “Wah... sering ke Bandung ya Bu, mampir dong
Bu ke rumah saya!’ ajak Bu Lilis dengan ramahnya.
“Andai kita bisa
ketemuan, belajar sambil makan surabi imud di cave itu, wah... pasti pulangnya
jadi beberapa buku,” canda Bu Ratna yang disambut dengan kata setuju peserta
yang lain. “Kalau ba’dha maghrib, di cave itu ada live music sehingga kita
makan surabi sambil belajar menulis dan mendengarkan live musik, pasti
menyenangkan. Ayo kita ajak pelatih dan admin kita,” canda Bu Ratna.
“Yang sopan ya kalau
bicara! Ini WA pendidikan! Siapapun Anda!” ujar satu di antara admin grup. Bergetar
jantung Bu Ratna membaca kalimat yang bernada sangat menyakitkan itu. Matanya
berkaca-kaca, bibirnya ternganga kaget. Diusianya yang menginjak 55 tahun, baru
pertama kali ia mendengar ada seorang yang mengatainya “yang sopan”. Selama ini,
Bu Ratna selalu menjaga kesopanan perilaku dan tutur katanya, di rumah atau pun
dilingkungannya. Bu Ratna sadar akan profisinya sebagai seorang pendidik yang
selalu menjadi panutan anak didiknya. Apalagi usianya yang sudah tidak mudah
lagi, dia selalu berusa memberi tauladan kepada anak dan cucunya.
Dengan tangan
gemetar, Bu Ratna menyekrol HP ke atas. Satu persatu kalimat dibacanya kembali.
Namun ia belum menemukan kata atau kalimat yang bernada tidak sopan. “Astaughfirllahuladzim...
maaf Bu, kalimat saya yang mana ya yang digolongkan tidak sopan?” tulis Bu
Ratna. “Lha itu, cave itu kan tidak sopan? Habis Maghrib kok ke cave mendengarkan live
musik, ya ngaji,” ujar admin sengit. “Memang kenapa dengan kata-kata “cave”?
Apanya yang salah? Habis maghrib itu kan maknanya banyak, bisa setelah sholat,
ngaji, terus berangkat, atau bisa usai sholat isya’. Lagian ngaji atau
beribadah kan tidak perlu dipamerkan? Jawab Bu Ratna mulai emosi.
“Di kampung saya
kata “cave” bermakna negatif”, ujar admin.
“Cave itu sama
dengan rumah makan atau restoran. Kalau di Bandung, rata-rata rumah makan
menyajikan live musik untuk menghibur pengunjung, gak lebih. Terus mananya yang
tidak sopan? Saya tahu diri kok, saya sudah tua, saya guru, makanya saya selalu
menjaga kesopanan tutur kata dan etika saya. Seumur hidup baru satu kali ini
ada orang yang mengatakan saya tidak sopan,” jawab Bu Ratna tersinggung dengan
penilaian admin.
“Ya Bu, maaf... saya
salah,” tulis admin.
Belum sempat Bu
Ratna membaca tulisan di grup itu, hp nya bergetar. WA dari nomor tak bernama. Dengan
raut muka merah padam dan tangan masih gemetar, ia membaca isi WA itu. “Ibu
saya mohon maaf, saya tidak bermaksud menyakiti hati ibu. Tolong maafkan saya,
karena dalam keluarga kami khusus nya kata cafe itu sangat kurang baik. Maf Bu,”
ujar admin.
“Sy tdk tahu bagaimana adat di keluarga panj.
Insyaallah yang sy tahu, cafe = restoran = rmh mkn. Gak ada yg negatif. Sy tersinggung dengan kata “yg sopan” yang
panjenengan tulis untuk saya di grup dan dibaca oleh seluruh anggota grup. Sy
ini sudah tua, sy sadar itu, makanya selalu menjaga tutur kata dan etika saya.
Apalagi saya juga guru seperti panjenengan, jd panutàn murid-murid saya,” jelas
Bu Ratna.
“Ya Bu saya minta maaf,” ujar admin
menegaskan.
“Ya Bu, gak apa,
saya maafkan. Sy sangat shok karena baru satu kali ini ada orang yang
mengatakan sy tidak sopan,” ujar Bu Ratna. “terimakasih Bu telah memafkan saya”,
ujar admin.
Meski hati Bu Ratna
masih belum bisa menerima, dadanya masih sesak namun ada rasa sedikt lega,
karena dia tidak termasuk orang yang tidak tahu sopan. Tiba-tiba Bu Ratna
menengadakan tangannya, bermunajat kepada Allah, “Alahamdulillah Yaallah...
semoga peristiwa ini menjadi hikmah untuk hambah-Mu, agar hambah lebih bisa
menjaga lisan hambah, agar lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertutur yang
tidak menyakiti orang lain. Karena hambah merasakan ucapan yang sudah terlanjur
keluar dari bibir, tidak akan dapat dihapus, aamien... .” bisik lirih Bu Ratna
sambil meneteskan air mata.
(Vie, 7 Juni 2020)
0 comments:
Posting Komentar